Total Tayangan Halaman

Minggu, 06 November 2011

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT DAN ETIKA

             Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga sekarang, tentunya kita telah menerima pelajaran tentang Pancasila berulang kali. Mengenal dasar negara memang merupakan hal yang sangat penting bagi pemuda-pemudi Indonesia, sehingga tak heran, berbagai tingkat pendidikan di negeri ini masih memasukkan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran wajib. Tidak sampai di situ, anak-anak mulai dari siswa Sekolah Dasar wajib menghafal kelima butir Pancasila beserta isinya secara urut, yang tentunya dapat mereka lakukan dengan baik. Betapa tidak, selain mendapatkan pendidikan Pancasila di dalam kelas, mereka juga turut membacakan Pancasila dalam setiap upacara bendera.                              
         
                
Lambang-lambang Pancasila

                         
Melihat uraian di atas, kita dapat memahami bahwa dasar negara Indonesia dianggap begitu penting dan sakralnya oleh masyarakat. Hal itu mungkin saja dipengaruhi oleh memori perjuangan masa lalu, dimana bangsa Indonesia dengan sekuat daya dan upaya berusaha merebut kemerdekaannya. Kakek dan nenek moyang kita terdahulu harus menerima banyak kenyataan pahit, banyak kehilangan yang terjadi akibat darah yang terus tumpah. Sampai akhirnya, melalui perwakilan negeri yang memegang kepercayaan rakyat, kemerdekaan yang ditunggu-tunggu dikumandangkan, dilanjutkan dengan perumusan dasar negara melalui diskusi para pemimpin bangsa. Proses yang sangat keras tersebut membuat kita lebih menghargai negara dan aspek-aspeknya, terutama Pancasila. Namun, sudahkah kita mengerti, apa sebenarnya fungsi dari Pancasila itu sendiri?                                                            
Bicara mengenai fungsi--atau kegunaan--ada banyak fungsi dari Pancasila yang bisa kita pelajari. Namun pada tulisan ini, saya akan fokus pada fungsinya sebagai  filsafat dan etika.
Apa alasan Pancasila dikatakan memilki fungsi sebagai filsafat, yang dalam hal ini, filsafat negara? Ini dikarenakan Pancasila merupakan suatu sistem filsafat1. Maksud dari kalimat ini adalah, ibarat sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian yang saling mendukung, begitu pulalah Pancasila. Kelima sila yang terdapat di dalamnya menyatu menjadi satu kesatuan yang padu, meskipun bila dilihat lebih dekat, setiap sila memiliki perannya masing-masing. Masing-masing peran yang menyatu inilah yang akan digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Untuk lebih jelasnya, mari kita coba kaji satu persatu :
                                                                
      1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Disini jelas terlihat bahwa negara Indonesia sangat menjunjung tinggi ketakwaan kepada Tuhan, sehingga Ketuhanan ditempatkan pada sila pertama. Maksud yang tersirat disini adalah, kita hidup di tengah masyarakat pluralisme, dimana ada lebih dari satu agama dalam suatu negara. Hendaknya kita tetap berpegang teguh pada kepercayaan masing-masing namun tetap bisa menempatkan diri dengan baik, sehingga tidak menimbulkan konflik.
                  
 
                                                 
      2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Indonesia merupakan negara hukum. Sudah seharusnya keadilan dijunjung tinggi, dimana semua warga negara, apapun statusnya, adalah sama di mata hukum. Selain adil, sila ini juga menunjukkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna pada dasarnya juga makhluk yang beradab2. 

3. Persatuan Indonesia.
Artinya sudah jelas, masyarakat diharapkan bersatu dalam membangun negara menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti bahu-membahu mendulang prestasi di kejuaraan internasional, atau bersama-sama untuk tidak melanggar aturan tertulis maupun tidak tertulis seperti tidak merokok di tempat umum dan membuang sampah pada tempatnya. Bila seluruh warga negara sepakat untuk berkomitmen melakukan hal-hal kecil seperti diatas, maka akan besar dampaknya bagi kemajuan negara.
4.                                      

  4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila keempat mengajak kita untuk menyelesaikan masalah secara bijaksana lewat musyawarah. Cara ini tentunya lebih baik karena semua pihak dapat menyatakan pendapatnya, tentunya atas dasar kepentingan bersama. Musyawarah dan mufakat memang sudah terkenal sebagai cara pengambilan keputusan paling baik di Indonesia. Pertanyaannya, sudahkah musyawarah dijalankan dengan benar?
5.                                
                                     

      5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keputusan dari suatu musyawarah harus memberikan kepastian adanya keadilan bagi semua pihak3. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada salah satu kelompok yang merasa dirugikan, sebaliknya, tidak ada satu kelompok yang lebih diuntungkan. Keputusan yang diambil pemimpin dan wakil rakyat haruslah menyejahterakan rakyat, yang kita tahu belum direalisasikan sampai saat ini.
                       


Bahasan diatas berhubungan dengan fungsi Pancasila yang kedua, yaitu sebagai etika. Kata etika sangat erat kaitannya dengan moral juga aturan, dimana Pancasila juga dapat dikatakan pedoman bagi hidup bermasyarakat.                                                                       
Namun, tidak dapat dipungkiri, Pancasila masih sebatas teori. Masyarakat memang mengetahui kelima sila tersebut, tetapi belum mau (atau belum berani?) menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan perkotaan yang penuh dengan persaingan terkadang memaksa warga untuk menyingkirkan nilai-nilai yang kurang menguntungkan diri sendiri, meskipun sebenarnya baik. Apalagi dalam kancah perpolitikan, yang kita tahu sangatlah kotor. Pancasila hampir-hampir tidak dicerminkan disini.                             
Salah satu kasus yang menurut saya melanggar Pancasila adalah kasus penembakan misterius yang terjadi di zaman orde baru.

Operasi Penembak Misterius yang dikenal sebagai Petrus awalnya digelar di Jakarta tahun 1983, kemudian melebar ke Yogyakarta dan Semarang. Konon operasi rahasia ini dikomandani langsung Sudomo, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban saat itu. Orang-orang yang diduga sebagai preman atau gali ditangkap, dikumpulkan di suatu tempat, kemudian ditembak dalam kondisi mata tertutup dan tangan diikat.
Bathi kecewa atas kerja Komnas HAM terdahulu yang dinilainya lamban. Dia juga sudah tidak lagi mempercayai institusi-institusi negara lainnya. Saat Komnas HAM dipimpim Abdul Hakim Garuda Nusantara, 4 kali Bathi dimintai kesaksian seputar Penembakan Misterius. Banyak juga data dan dokumen yang telah ia serahkan untuk membantu upaya penyelesaian hukum kasus ini. Namun hanya kekecewaan yang didapat. “Kalau hanya untuk melengkapi kepustakan supaya terlihat bekerja, mending nggak usahlah. Mereka (Komnas HAM) makan gaji buta kalau begitu. Jadi, kalau mereka nggak bisa selesaikan masalah ini lebih baik Komnas HAM bubar saja,” ujarnya.
Bathi pasrah apa pun tanggapan masyarakat soal album itu. Dia juga tidak lagi banyak berharap pelaku Petrus akan diadili. Dia tidak mau lagi kecewa atas harapan-harapan itu. “Ini naif sekali. Jika Komnas HAM bicara soal penegakan HAM, mengapa mereka makan di atas bangkai manusia korban HAM? Saya muak dengan Komnas HAM,” ujarnya. 4
                               

                                   

                 Kasus diatas jelas-jelas melanggar sila ke 2 Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Orang-orang yang dianggap dan terlihat sebagai preman (bertato, berpakaian selayaknya preman) dihabisi dengan sewenang-wenang tanpa alasan. Padahal, Pak Bathi, salah satu korban selamat diatas, sudah tidak melakukan kejahatan semenjak keluar dari penjara. Ia bahkan mempelopori preman-preman di Jawa Tengah untuk menjalankan bisnis, dengan didukung gubernur Jawa Tengah sendiri. Orang-orang bertato seakan didiskriminasi  dan tidak diberikan hak yang sama dengan warga negara lain, yaitu hak hidup dengan tenang. Pemerintahan yang dipimpin Soeharto terbilang sangat buruk, karena GAGAL melindungi hak-hak warga negara, meskipun ekonomi Indonesia saat itu cukup baik. Komnas HAM seharusnya dapat bekerja dengan cepat membantu menuntaskan masalah petrus yang menelan banyak korban, bukan hanya terus menerus menginterogasi korban tanpa melakukan aksi lebih jauh.

catatan kaki : 
1Citizenship, Sedarnawati Yasni, 2010. (hal.149)
2Citizenship, Sedarnawati Yasni, 2010. (hal.154)    
3Citizenship, Sedarnawati Yasni, 2010. (hal.155)
4regional.kompasiana.com                                 
                         
       
                                     


1 komentar: